Cari Blog Ini

Sabtu, 15 Mei 2010

UJI EFEK EKSTRAK AIR HERBA DAUN SENDOK (PLANTAGO MAYOR L.) TERHADAP DIURETIK PADA KELINCI JANTAN GALUR WISTAR

UJI EFEK EKSTRAK AIR HERBA DAUN SENDOK (PLANTAGO MAYOR L.) TERHADAP DIURETIKPADA KELINCI JANTAN GALUR WISTAR

PROPOSAL

TUGAS AKHIR

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan Studi di Politeknik Negeri Jember Jurusan Manajemen Agribisnis

Program Studi Manajemen Agroindustri

Bidang Konsentrasi Teknologi Herbal

Oleh :
Nyanyang
K4070608

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2010




KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

POLITEKNIK NEGERI JEMBER

JURUSAN MANAJEMEN AGRIBISNIS

PROPOSAL TUGAS AKHIR

1. a. Judul : Uji Efek Ekstrak Air Herba Daun

Sendok (Plantago mayor L.)

Terhadap Diuertik Pada Kelinci

Jantan Galur Wistar.

b. Bentuk : Kaji Terap

2. Identitas pelaksana

a. Nama Lengkap : Nyanyang

b. NIM : K4070608

c. Jurusan / Progam Studi : Manajemen Agribisnis/Teknologi

Herbal

3. Lokasi : Laboratorium Peternakan

Politeknik Negeri Jember

4. Identitas Dosen Pembimbing 1

a. Nama Lengkap : Ir. Wahyu Winarno, MP

b. NIP : 19571212 198903 1004

c. Jurusan / Progam Studi : -

5. Identitas Dosen Pembimbing 2

a. Nama Lengkap : Sugiyanto, Ssi. Apt

b. NIP : -

c. Jurusan / Progam Studi : -

6. Lama Kegaiatan Penelitian : 2 Bulan

Jember, 12 Maret 2010

Menyetujui:

Dosen Pembimbing utama                                                                                             Pelaksana,


Ir. Wahyu Winarno, MM                                                                                              Nyanyang
NIP. 19571212 198903 1004                                                                                 NIM: K4070608

Mengetahui:

Ketua Program Studi MID                                                                  KoordinatorBidang Konsentrasi


Wenny Dhamayanthi, SE, M.Si                                                                         Ir. Djenal, MP
NIP. 19710804 199802 2 001                                                                           NIP. 131 689 757



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

DAFTAR ISI iii

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 4

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Beberapa Penelitian Terdahulu 5

2.2 Uraian Taanaman Daun Sendok (Plantago mayor l.) 7

2.3 Diuretik 8

2.4 Furosemida 14

2.5 Ekstraksi 16

2.6 Maserasi 17

2.7 Landasan Teori 18

2.8 Kerangka Konseptual 19

2.9 Hipotesis 20

III. METODELOGI PENELITIAN 21

3.1 Rancangan Penelitian 21

3.2 Variabel Penelitian 22

3.3 Populasi Besar dan Teknik Pengambilan Sampel 22

3.4 Instrumen Penelitian 24

3.5 Lokasi Penelitian 29

3.6 Prosedur Pengumpulan Data 29

3.7 Teknik Analisis 29

IV. JADWAL PELAKSANAAN 32

V. MEKANISME BIAYA 33

DAFTAR PUSTAKA



I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap orang pada hakikatnya mendambakan hidup sehat dan sejahtera lahir batin. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping kebutuhan akan sandang, pangan, papan dan pendidikan, karena hanya dengan kondisi kesehatan yang baik serta tubuh yang prima manusia dapat melaksanakan proses kehidupan untuk tumbuh dan berkembang menjalankan segala aktivitas hidupnya. Maka tidak terlalu berlebihan, jika ada selogan “Kesehatan memang bukan segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan kita tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan segala-galanya itu mungkin akan sirna”.

Bertolak dari hal itu maka upaya kesehatan terpadu (sehat jasmani, rohani dan sosial) mutlak diperlukan baik secara pribadi maupun kelompok masyarakat untuk mewujudkan Indonesia sehat 2014. Keterpaduan upaya kesehatan tersebut meliputi pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara bisa dilakukan dalam rangka memperoleh derajat kesehatan yang optimal, salah satunya dengan memanfaatkan tanaman obat yang dikemas dalam bentuk jamu atau obat tradisional.

Ginjal merupakan salah satu organ yang paling berperan dan berpengaruh terhadap timbulnya beberapa penyakit yang berbahaya, salah satunya adalah tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi yang berkelanjutan menyebabkan penebalan pembuluh darah pada ginjal sehingga mengganggu mekanisme yang menghasilkan urin, akibatnya sekresi urin terganggu (Sulastri dalam Sidabutar, 1992).

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretic adalah untuk memobilitasi cairan udema, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal (Sunaryo, 1995).

Walaupun kerjanya pada ginjal, diuretik bukan ”obat ginjal”, artinya senyawa ini tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal, demikian juga pada pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialisis, tidak akan dapat ditangguhkan dengan penggunaan senyawa ini. Beberapa diuretika pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat penting urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus sehingga akan memperburuk insufisiensi ginjal. Dengan demikian obat yang dapat digunakan secara terapetik hanyalah yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi gerakan air dan elektrolit dalam organisme. Pengaruh terhadap proses transport hanya seakan-akan saja khas terhadap ginjal. Karena konsentrasi diuretika pada saat melewati nefron meningkat dengan hebat, maka efeknya pada ginjal (efek diuretika) dibandingkan efek pada organ lain lebih dominan. Jika pada peningkatan ekskresi air terjadi juga peningkatan garam-garam, maka diuretika ini dinamakan saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit) (Mutschler, 1991).

Diuretika terutama digunakan untuk mengurangi udema yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah cairan luar sel, pada keadaan yang berhubungan dengan kegagalan jantung kongestif, kegagalan ginjal, oligourik, sirosis hepatik, keracunan, kehamilan, glaucoma, hiperkalsemia, diabetes insipidus dan sembab yang disebabkan oleh penggunaan jangka panjang kortikosteroid atau estrogen. Diuretik juga digunakan sebagai penunjang pada pengobatan hipertensi (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 2002).

Sejak dahulu nenek moyang telah memanfaatkan tanaman untuk mengobati berbagai penyakit. Namun ketika obat kimia ditemukan bahan obat alami tersebut mulai tersisih. Padahal bahan alami mengandung berbagai kelebihan yaitu mudah diperoleh, harga murah, bahkan umumnya gratis karena bisa ditanam sendiri dan efek sampingnya lebih ringan dari obat kimia (Sulastri dalam Muhlisah, 2001).

Salah satu tanaman obat yang secara empiris bahkan ilmiah telah digunakan sebagai ramuan obat untuk batu ginjal dan penurun kadar glukosa darah yang diduga mempunyai efek diuretika, tanaman tersebut adalah yang disebut daun sendok (Plantago mayor L.). Tanaman ini memiliki kandungan kimia seperti herbanya mengandung plantagin, aukubin, asam ursolik, b-sitosterol, n-hentriakontan dan plantagluside yang terdiri dari methyl D-galaktosa, L-arabinosa dan rhammosa. Juga mengandung tanin, kalium dan vitamin (B1, C, A). kalium bersifat peluruh kencing dan melarutkan endapan garam kalsium yang tersapt dalam ginjal dan kandung kencing. Zat aktif aukubin selain berkhasiat melindungi hati terhadap pengaruh zat beracun yang dapat merusak sel-sel hati (hepatoprotektor), juga berkhasiat antiseptik. Biji (che qian zi) daun sendok mengandung asam planteroklik, plantasan (dengan komposisi xylose, arabinose, asam galacturonat dan rhamnose), protein, musilago, aucubin, asam suksinat, adenin. Cholin, katalpol, syringin, asam lemak (palmitat, stearat, arakidat, oleat, linolenat dan linoleat), serta flavanone glycoside. Sedangkan bagian akar mengandung naphazolin. Herba bersifat manis dan dingin. Berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, peredam demam (antiperik), peluruh kencing (diuretik), peluruh dahak (ekspektoran), obat batuk (antitusif), penghentian pendarahan (hemostatis), astrigen, menerangkan penglihatan dengan menormalkan aktivitas organ hati yang berlebihan, dan menghilangkan haus. Biji bersifat manis, dingin, masuk meridian ginjal, hati, usushalus dan paru. Berkhasiat sebagai diuretik, afrodisiak, menyehatkan paru, ekspektoran, pencahar (laksans), meredakan panas hati dan menerangkan penglihatan (Ika, 2009).

Furosemida merupakan kelompok diuretika kuat yang telah teruji secara medis ilmiah. Sebagai diuretika kuat, furosemida merupakan obat yang paling sering digunakan di Indonesia, yaitu sekitar 60% dibandingkan dengan diuretika kuat yang lain. Hal ini terjadi karena mula kerja, waktu paruh dan waktu kerja relative singkat, sehingga efek diuretikanya cepat timbul dan sangat cocok digunakan untuk keadaan akut, namun sangat disayangkan, pemakaian furosemida dapat menimbulkan efek samping gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, terutama ion Natrium dan Kalium. Kedua ion ini banyak yang dieksresikan, sehingga menimbulkan hiponatrinemia dan hipokalemia (Sulatri dalam Agoes, 1992; Ganiswara S.G, 1995; Mutschler E, 1991).

Oleh karena adanya efek samping berupa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang ditimbulkan furosemida, penulis tertarik untuk meneliti tumbuhan obat yang kemungkinan mempunyai efek sebagai diuretika dengan menggunakan ekstrak cair daun sendok serta membandingkannya dengan furosemida (Lasix).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: Apakah ekstrak air herba daun sendok (Plantago mayor L.) mempunyai efek diuretik pada kelinci jantan galur wistar?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek diuretik ekstrak air daun sendok (Plantago mayor L.) dan konsentrai ekstrak air herba daun sendok yang dapat memberikan efek diuretik yang diujikan pada kelinci jantan galur wistar serta membandingkan tingkat keefektifan ekstrak air herba daun sendok (Plantago mayor L.) dengan Furosemid (Lasix).

1.4 Manfaat Penelitian

a. Mengangkat kembali budaya nenek moyang dalam hal pengobatan dengan menggunakan bahan obat dari alam khususnya tanaman obat.

b. Memberikan informasi terhadap khajanah ilmu pengetahuan dan teknologi dalam meningkatkan kesehatan, bahwa herba daun sendok dapat digunakan untuk diuretik.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beberapa Penelitian Terdahulu

Infus daun sendok 10% dan 20 & terhadap kalarutan Ca dan Mg dari batu ginjal secara in vitro, mempunyai efek melarutkan kalsium dan magnesium dari batu ginjal secara bermakna dibandingkan air suling (Green World dalam Ismedsyah, 1991).

Fraksi etil asetat (asam) daun sendok dengan dosis 2 g/kg bb yang diberikan secara oral pada tikus putih jantan yang telah diinduksi dengan asetosal 200 mg /kg bb, ternyata mempunyai aktivitas antiulcer. Panapisan fitokimia fraksi etil asetat asam menunjukkan adanya golongan tripenoid dan monopenoid (green world dalam Sariati, 1993).

Ekstrak daun sendok pada konsentrasi 1 – 3 g/ml menunjukkan daya antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella sennei (Abu Al Maira dalam Meriana Sugiarto, 1992).

Hasil percobaan Dian Sundari, Yun Astuti Nugroho dan Budi Nuratmi, (2006) menunjukkan bahwa efek anti diare ekstrak daun sendok baik dosis 50 mg/100 g bb maupun 150 mg/100 g bb tidak ada beda nyata terhadap pembanding Loperamide dosis 0,12 mg/100 g bb.

Berdasarkan hasil penelitian uji farmakologi penurunan kadar glukosa darah infusa herba daun sendok ( Plantago mayor L.) menyimpulkan bahwa Infusa herba daun sendok dosis 0,33 g/kgBB dan 0,65 g/kgBB, dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci jantan yang dibebani glukosa dengan persentase penurunan kadar glukosa darah (% PKGD) masing-masing 17,15 ± 5,30 dan 14,32 ± 3,69. Persentase PKGD infusa herba daun sendok dosis 0,33 g/kgBB dan 0,65 g/kgBB sebanding dengan acarbose dosis 2,33 mg/kgBB (Ariztya Rizki Nugrahani, 2008).

Melancarkan Kencing, Herba daun segar sebanyak 6 ons dicuci, tambahkan gula batu secukupnya. Bahan tersebut direbus dengan 3 liter air hingga susut rebusannya tersisa separo. Minum seperti air teh, habiskan dalam sehari. Herba daun sendok segar dicuci lalu ditumbuk sampai lumat.

Peras dan saring sampai airnya terkumpul dalam gelas, tambahkan madu 1 sendok makan, lalu diminum sekaligus.

Untuk kencing batu, Herba daun sendok segar sebanyak 30 g dan 7 lembar daun avokad dicuci lalu direbus dengan 3 gelas air sampai tersisa 1 gelas. Setelah dingin airnya disaring lalu diminum sehari 2 kali, masing-masing 1/2 gelas. Herba kering sebanyak sebanyak 10 - 15 g atau yang segar sebanyak 15 - 30 g direbus, lalu diminum airnya. Bisa juga herba segar ditumbuk lalu lalu diperas dan disaring untuk diminum. Untuk pemakaian bijinya, siapkan 10 - 15 g biji daun sendok, lalu direbus dan diminum airnya. Untuk pemakaian luar, herba segar dipipis lalu dibubuhkan pada luka berdarah, tersiram air atau bisul lalu dibalut. Pemakaian juga bisa dengan cara direbus, lalu airnya untuk kumur-kumur pada radang gusi dan sakit tenggorok. Bisa juga digunakan dengan cara digiling halus, lalu dibuat salep untuk mengatasi bisul, bisul, dan koreng (Green World, 2009).

Untuk mengobati batu ginjal gunakan 30 gram daun sendok, 7 lembar daun alpokat dan 30 gram daun kijibeling direbus dengan 700 cc air hingga tersisa 200 cc. Bahan tersebut kemudian disaring dan airnya diminum. Bila menderita radang ginjal, gunakan 30 gram daun sendok, 75 gram akar alang-alang, 100 gram rambut jagung, 30 gram sambiloto, kemudian direbus dengan 800 cc ar hingga tersisa 200 cc, saring dan airnya diminum. Untuk mengobati diabetes, gunakan 30 gram daun sendok, 20 lembar daun salam direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, saring dan airnya diminum. Sedangkan untuk mengobati radang usus, gunakan 30 gram daun sendok, 30 gram sambiloto direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, saring dan airnya diminum. Bila mengalami diare, gunakan 30 gram daun sendok direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, saring dan airnya diminum. Untuk mengobati radang saluran napas, gunakan 30 gram daun sendok, 10 kuncip bunga kenop direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, saring dan airnya diminum. Bila menderita buang air kecil sakit, dapat menggunakan 30 gram daun sendok, 30 gram daun meniran yang direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, saring dan airnya diminum. Untuk bisul, gunakan 30 gram daun sendok, dilumatkan lalu tambahkan kapur sirih secukupnya, aduk rata lalu ditempelkan pada bisul tersebut. Bila menderita eksim, gunakan daun sendok secukupnya, dilumatkan dan garam secukupnya, aduk rata lalu dioleskan pada eksim tersebut. Sedangkan untuk mengobati buang air kecil yang mengandung darah, gunakan 30 gram daun sendok, 60 gram akar alang-alang, 30 gram sambiloto, 30 gram daun dewa yang direbus dengan 700 cc air hingga tersisa 200 cc, saring dan airnya diminum. Lakukan pengobatan itu sebanyak 2 kali sehari dan lakukan secara teratur. Untuk penyakit yang berat/serius disarankan untuk tetap konsultasi ke dokter ( Hembing Wijayakusuma, 2004).

2.2 Uraian Tanaman Daun Sendok (Plantago mayor L.)

2.2.1 Nama Daerah

Daun sendok di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda. : daun urat, daun urat-urat, ekor angin, kuping menjangan (melayu); klurat, ceuli, ceuli uncal (Sunda), meloh kiloh, otot-ototan, sangkabuah, sangkubah, sangkuwah, sembung otot, suri pandak (Jawa); torongoat (Minahasa) (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

2.2.2 Klasifikasi Kedudukan Tanaman

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Classis : Dicotyledoneae

Ordo : Plantaginales

Familia : Plantaginaceae

Genus : Plantago

Species : Plantago mayor L. ( Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

2.2.3 Morfologi Tanaman

Terna menahun, tumbuh tegak, tinggi 15-20 cm. Daun tunggal, bertangkai panjang, tersusun dalam roset akar. Bentuk daun bundar telur sampai lanset melebar, tepi rata atau bergerigi kasar tidak teratur, permukaan licin atau sedikit berambut, pertulangan melengkung, panjang 5-10 cm, lebar 4-9 cm, warnanya hijau. Perbungaan majemuk tersusun dalam bulir yang panjangnya sekitar 30 cm, kecil-kecil, warna putih. Buah lonjong atau bulat telur, berisi 2-4 biji berwarna hitam dan keriput (Dalimartha, 1999).

2.2.4 Komponen Kimia Tanaman

Daun sendok mengandung saponin, flavonoid dan polifenol (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Herba ini mengandung plantagin, aukubin, asam ursolik, beta sitosterol, n-hentriakuntan, dan plantaglusida yang terdiri dari methyl D-galakturonat, D- galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa, tanin, kalium, dan vitamin (B1, C, A). Biji (che qian zi) daun sendok mengandung asam planterolik, plantasan (dengan komposisi xylose, arabinose, asam galakturonat dan rhamnose), protein, mucilago, aukubin, asam suksinat, adenin, cholin, katalpol, syiringin, asam lemak (palmitat, stearat, arachidat, oleat, linoleat, dan lenoleat), serta flavanone glicoside. Sedangkan bagian akar mengandung naphazolin (Dalimartha, 1999).

2.2.5 Khasiat Tanaman

Daun sendok (Plantago mayor L.) berkhasiat sebagai peluruh air seni, obat penurun panas dan penambah nafsu makan (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Herba berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, antipiretik, diuretik, ekspektoran, antitusif, astringen (Dalimartha, 1999). Biji dapat berkhasiat sebagai diuretik, menyehatkan paru, ekspektoran, pencahar (laksans), meredakan panas, dan menerangkan penglihatan. Akar berkhasiat untuk mengatasi keputihan (leukore) dan nyeri otot (Dalimartha, 2005). Biji dapat juga berkhasiat sebagai agen hipoglikemik dan hipokolesterolimia (Aguilar dkk., 2006).

2.3 Diuretik

Diuretik adalah senyawa yang dapat meningkatkan volume urin. Diuretik bekerja terutama dengan meningkatkan ekskresi ion-ion Na+, Cl- atau HCO3 yang merupakan elektrolit utama dalam cairan di luar sel. Diuretik juga menurunkan absorpsi kembali elektrolit di tubulus renalis dengan melibatkan proses pengangkutan aktif (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Urin diekskresikan oleh ginjal. Unit fungsional dari ginjal adalah nefron, yang terdiri dari glomerulus, tubulus proksimal dan distal, Loop of Henle dan saluran pengumpul (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 2000). Struktur yang menonjol dalam ginjal adalah nefron. Dalam ginjal nefron kira-kira berjumlah 1,3x106 nefron terdiri atas glomerulus dan serangkaian tubulus. Fungsi utama tubulus ginjal adalah menyingkirkan buangan metabolisme normal dan mengekskresikan xenobiotik dan metabolitnya. Hal ini diproduksi urin, suatu proses yang juga berperan dalam pemeliharaan status homeostatis tubuh (Sulatri dalam Lu, 1995).

Diuretik menghasilkan peningkatan aliran urin (diuresis) dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air dari tubulus ginjal. Kebanyakan reabsorbsi natrium dan terjadi di sepanjang segmen-segmen tubulus ginjal proksimal, lengkung henle dan distal. Diuretik dapat mempengaruhi satu atau lebih segmen tubulus ginjal (Sulastri dalam Kee dan Hayes, 1996).

Walaupun kerjanya pada ginjal, diuretik bukan ”obat ginjal”, artinya senyawa ini tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal, demikian juga pada pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialisis, tidak akan dapat ditangguhkan dengan penggunaan senyawa ini. Beberapa diuretika pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat penting urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus sehingga akan memperburuk insufisiensi ginjal. Dengan demikian obat yang dapat digunakan secara terapetik hanyalah yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi gerakan air dan elektrolit dalam organisme. Pengaruh terhadap proses transport hanya seakan-akan saja khas terhadap ginjal. Karena konsentrasi diuretika pada saat melewati nefron meningkat dengan hebat, maka efeknya pada ginjal (efek diuretika) dibandingkan efek pada organ lain lebih dominan. Jika pada peningkatan ekskresi air terjadi juga peningkatan garam-garam, maka diuretika ini dinamakan saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit) (Mutschler, 1991).

2.3.1 Mekanisme Kerja Diuretika

Secara teoritis produksi urin dapat ditingkatkan dengan memperkecil laju filtrasi dan yang kedua mengurangi penyerapan kembali di tubulus, yang terakhir ini lebih banyak menjadi mekanisme kerja diuretika dan ternyata bahwa diuretika yang efektif adalah diuretika yang mampu mengurangi reabsorpsi ion-ion Na+ sehingga pengeluarannya bersama air diperbanyak (Sulastri dalam Djamhuri, 1990). Obat–obat ini bekerja khusus terhadap tubuli ginjal pada tempat yang berlainan, yaitu:

a. Tubuli proksimal

Garam reabsorbsi secara aktif (70%), antara lain Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Reabsorbsi berlangsung secara proporsional sehingga susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika osmosis (manitol, sorbitol) bekerja disini dengan merintangi reabsorpsi air dan natrium (Tjay dan Rahardja, 2002).

b. Lengkung henle

Di bagian menaik lengkungan Henle ini 2,5% dari semua Cl- yang telah difiltrasi direabsorpsi secara aktif, disusul dengan reabsorpsi , dan air diperbanyak (Tjay dan Rahardja, 2002). Pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan (furosemid, bumetamida, etakrinat) bekerja dengan merintangi transport Cl-, dan demikian reabsorpsi Na+, pengeluaran K+

c. Tubuli distal

Di bagian pertama tubuli ini, Na+ direabsorpsi secara aktif tanpa air hingga difiltrat menjadi lebih cair dan hipotonis. Senyawa tiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini. Dibagian kedua segmen ini, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+ proses ini dikendalikan oleh hormon anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat-zat penghemat kalium (amilorid dan triamteren) bekerja disini (Tjay dan Rahardja, 2002).

d. Saluran pengumpul

Hormon antidiuretik (vasopressin) hipofise bertitik kerja di sini dengan jalan mempengaruhi permeabilitas bagian air dari sel-sel saluran ini (Tjay dan Rahardja, 2002).

Secara umum diuretika dibagi menjadi tujuh kelompok, yaitu:

1. Diuretika osmotik

Diuretika osmotik meningkatkan osmolaritas (konsentrasi) plasma dan cairan dalam tubulus ginjal. Natrium, klor, kalium dan air diekskresikan (Sulastri dalam Kee dan Hayes, 1996). Diuretika osmotik mempunyai berat molekul rendah, dalam tubuh mengalami metabolisme, secara pasif disaring melalui kapsula Bowman ginjal, dan tidak diserap kembali oleh tubulis renalis. Bila diberikan dalam dosis besar atau larutan pekat akan menaikkan air dan elektrolit ke tubulus renalis, yang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan osmosa, sehingga terjadi diuresis (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 1995). Golongan obat ini dipakai untuk mencegah payah ginjal, untuk mengurangi tekanan intrakrinal (misalnya edema otak) dan untuk menurunkan tekanan intraokular (glaukoma) (Sulastri dalam Kee dan Hayes, 1996). Efek samping diuretika osmotik antara lain adalah gangguan keseimbangan elektrolit, dehidrasi, mata kabur, nyeri kepala dan takikardi. Golongan obat ini antara lain manitol, glukosa, sukrosa dan urea ( Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 1995).

2. Diuretika Pembentuk Asam

Diuretika pembentuk asam adalah senyawa anorganik yang dapat menyebabkan urin bersifat asam dan mempunyai efek diuretika. Senyawa golongan ini diuretikanya lemah dan menimbulkan asidosis hiperkloremik sistemik. Efek samping yang ditimbulkan antara lain adalah iritasi lambung, penurunan nafsu makan, mual, asidosis, dan ketidaknormalan fungsi ginjal. Golongan diuretika pembentuk asam adalah ammonium nitrat, dan kalsium klorida (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 1995).

3. Diuretika Merkuri Organik

Diuretika merkuri organik adalah saluretika karena dapat menghambat penyerapan kembali ion-ion Na+, Cl-, dan air. Penyerapan pada saluran cerna rendah menimbulkan iritasi lambung sehingga pada umumnya diberikan secara parenteral. Dibanding obat diuretika lain, penggunaan diuretika merkuri organik mempunyai beberapa keuntungan, antara lain tidak menimbulkan hipokalemia, tidak mengubah keseimbangan elektrolit dan tidak mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan asam urat. Efek iritasi setempat besar dan menimbulkan nekrosis jaringan. Diuretika merkuri organik menimbulkan reaksi sistemik yang berat sehingga sekarang jarang digunakan sebagai diuretika. Golongan diuretika merkuri organik antara lain: metalurid, merkurofilin, mersalil (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 1995).

4. Diuretika Penghambat Anhidrase Karbonik

Penghambat anhidrase karbonik, asetazolamid, diklorfenamid, etoksilamid dan metazolamid menghambat kerja enzim anhidrase karbonik yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan asam basa. Penghambat enzim ini menyebabkan peningkatan pengeluaran natrium, kalium dan karbonat (Sulastri dalam Kee dan Hayes, 1996). Efek samping yang ditimbulkan golongan ini antara lain adalah gangguan saluran cerna, menurunnya nafsu makan, asidosis sistemik dan alkalinisais urin dan hipokalemia. Adanya efek asidosis sistemik dan alkalinisasi urin dapat mengubah secara bermakna perbandingan bentuk terionisasi dan yang tak terionisasi dari obat-obat dalam cairan tubuh, sehingga mempengaruhi pengangkutan, penyimpanan, metabolisme, ekskresi dan aktivitas obat-obat tersebut. Penggunaan diuretika penghambat organik anhidrase terbatas karena lebih banyak digunakan sebagai obat penunjang pada pengobatan glaucoma, dikombinasi dengan miotik, seperti pilokarpin, karena dapat menekan pembentukan aquaeus humour dan menurunkan tekanan dalam mata. Golongan obat ini antara lain acetazolamid, metazolamid, etokzolamid, diklorfenamid (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 1995).

5. Diuretik Turunan Tiazid

Diuretik turunan tiazid dapat meningkatkan ekskresi ion-ion K+, Mg+ dan HCO3 dan menurunkan ekskresi asam urat. Diuretika turunan tiazid terutama penunjang untuk pengobatan sembab pada keadaan dekomposisi jantung dan sebagai penunjang pada pengobatan hipertensi karena dapat mengurangi volume darah dan secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos arteriola. Turunan ini dalam sediaan sering dikombinasikan dengan obat-obat anti hipertensi, seperti reserpin dan hidralozin, untuk pengobatan hipertensi karena menimbulkan efek potensiasi. Golongan obat ini antara lain hidroklorotiazid, klortalidon (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 1995). Efek dari turunan tiazid ini lebih lemah dan lebih lambat (6-8 jam). Obat-obat turunan tiazid memilki kurva dosis efek, artinya bila dosis optimal dinaikkan lagi efeknya tidak bertambah (Tjay dan Rahardja, 2002).

6. Diuretika Hemat Kalium

Diuretika hemat kalium, lebih lemah daripada tiazid dan diuretika kuat, dipakai untuk diuretik ringan atau dalam kombinasi dengan obat anti hipertensi. Obat-obat ini bekerja pada tubulus distal ginjal untuk meningkatkan ekskresi natrium, air dan retensi kalium. Obat ini pompa natrium, kalium yang dikontrol oleh aldosteron hormon mineralokortikoid. Kalium direabsorpsi dan natrium diekskresi (Kee dan Hayes, 1996). Obat golongan ini menimbulkan efek samping hiperkalemia, dapat menyebabkan penyakit diabetes dan pirai, serta menyebabkan gangguan saluran cerna. Tergolong dalam kelompok ini adalah amilorid, triamteren, epiranolakton (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo,1995).

7. Diuretika Lengkung Henle

Diuretika lengkung Henle merupakan senyawa sangat kuat, aktivitasnya besar dibandingkan turunan tiazid dan senyawa saluretik lain (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 1995). Diuretika ini bekerja dengan menghambat transport klorida terhadap natrium ke dalam sirkulasi. Garam natrium dan air akan keluar bersama kalium, kalsium dan magnesium. Obat-obat golongan ini sangat poten dan menyebabkan turunannya jumlah air dan elektrolit dalam jumlah besar. Efek dari diuretika kuat (lengkung henle) berkolaborasi dengan dosis, yaitu dengan meningkatnya dosis respon obat ini juga meningkat (Sulastri dalam Kee dan Hayes, 1996).

Kelompok diuretika ini dapat dibagi menjadi tipe furosemid dan diuretika lengkung Henle lainya. Termasuk tipe furosemid yaitu bumetamid, piretamid. Dan termasuk diuretic lengkung Henle lainnya yaitu asam etakrinat, etozolium dan muzolimin (Mutschler, 1991). Obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6 jam). Banyak digunakan pada keadaan akut, misalya pada udema otak dan paru-paru (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.3.2 Penggunaan Diuretika

Diuretika terutama digunakan untuk mengurangi edema yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah cairan luar sel, pada keadaan yang berhubungan dengan kegagalan jantung kongestif, kegagalan ginjal, oligourik, sirosis hepatik, keracunan, kehamilan, glaucoma, hiperkalsemia, diabetes insipidus dan sembab yang disebabkan oleh penggunaan jangka panjang kortikosteroid atau estrogen. Diuretik juga digunakan sebagai penunjang pada pengobatan hipertensi (Sulastri dalam Siswandono dan Soekardjo, 2002).

2.4 Furosemida

Furosemida merupakan derivatif sulfonamida dan memiliki sifat seperti tiazid, tetapi furosemida lebih kuat terutama jika digunakan udema pada ginjal dengan lama kerja singkat (4 jam). Furosemida menghasilkan efek yang cepat sehingga dapat digunakan pada keadaan yang gawat dan juga dapat diberikan dengan injeksi sebagai diuretik kuat, toksisitas utamanya adalah kehilangan elektrolit, dehidrasi, prekomahepatik dan hipotensi postular (Sulastri dalam Djamhuri, 1990).

Furosemida merupakan diuretika yang kuat, aktivitasnya 8-10 kali diuretika tiazida. Awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah pemberian oral dengan massa kerja yang relatif pendek yaitu 6-8 jam, absorpsi furosemida dalam saluran cerna cepat, ketersediaan hayatinya 60-80% pada subyek normal dan 91-95% obat terikat oleh plasma protein. Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah pemberian secara oral dengan waktu paro biologisnya 2 jam. Furosemida digunakan untuk pengobatan hipertensi ringan dan moderat, karena dapat menurunkan tekanan darah (Sulastri dalam Siswandono dan Sukardjo, 2000).

Furosemida termasuk dalam golongan diuretik jerat Henle. Kerja diuretik golongan ini adalah selektif menghambat reabsorsinya dari NaCl pada cabang menaik yang tebal dari jerat Henle (Katzung, 2001). Diuretik jerat Henle tipe furosemida sangat bermanfaat, jika diperlukan kerja yang cepat dan intensif, seperti misalnya pada udem paru-paru (Mutschler, 1991).

Dalam klinis, furosemida biasanya digunakan untuk mengobati udema, paru-paru, gagal ginjal akut, dan hiperkalemia (Katzung, 2001). Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa hipokalemik, ekskresi kalsium yang meningkat, kurang lazim mual, gangguan saluran cerna, hiperglikemia (kurang lazim daripada yang disebabkan tiazid), kadar kolesterol dan trigliserida plasma meningkat sementara, jarang terjadi ruam kulit, fotosensitivitas dan depresi sumsum tulang, pankreatitis, tinnitus dan ketulian karena pemberian dosis parenteral yang besar dan cepat serta pada gangguan ginjal (Sulastri dalam Anonim, 2000).

Dosis yang biasa diberikan adalah 40-80 mg secara peroral untuk mengobati udema, pada insufisiensi ginjal sampai 250-4000 mg sehari dalam 2-3 dosis, injeksi intravena secara perlahan dengan dosis 20-40 mg dan pada keadaan hipertensi sampai 500 mg ( Tjay dan Rahardja, 2002).

2.5 Ekstraksi

Ekstraksi adalah penyarian zat-zat aktif dari bagian tanaman obat. Adapun tujuan dari ekstraksi yaitu untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Secara umum, terdapat empat situasi dalam menentukan tujuan ekstraksi:

1. Senyawa kimia telah diketahui identitasnya untuk diekstraksi dari organisme. Dalam kasus ini, prosedur yang telah dipublikasikan dapat diikuti dan dibuat modifikasi yang sesuai untuk mengembangkan proses atau menyesuaikan dengan kebutuhan pemakai.

2. Bahan diperiksa untuk menemukan kelompok senyawa kimia tertentu, misalnya alkaloid, flavanoid atau saponin, meskipun struktur kimia sebetulnya dari senyawa ini bahkan keberadaannya belum diketahui. Dalam situasi seperti ini, metode umum yang dapat digunakan untuk senyawa kimia yang diminati dapat diperoleh dari pustaka. Hal ini diikuti dengan uji kimia atau kromatografik yang sesuai untuk kelompok senyawa kimia tertentu.

3. Organisme (tanaman atau hewan) digunakan dalam pengobatan tradisional, dan biasanya dibuat dengan cara, misalnya Tradisional Chinese medicine (TCM) seringkali membutuhkan herba yang dididihkan dalam air dan dekok dalam air untuk diberikan sebagai obat. Proses ini harus ditiru sedekat mungkin jika ekstrak akan melalui kajian ilmiah biologi atau kimia lebih lanjut, khususnya jika tujuannya untuk memvalidasi penggunaan obat tradisional.

4. Sifat senyawa yang akan diisolasi belum ditentukan sebelumnya dengan cara apapun. Situasi ini (utamanya dalam program skrining) dapat timbul jika tujuannya adalah untuk menguji organisme, baik yang dipilih secara acak atau didasarkan pada penggunaan tradisional untuk mengetahui adanya senyawa dengan aktivitas biologi khusus.

Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar sel (Dinda, 2008).

2.6 Maserasi

Istilah maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya “merendam”. Maserasi merupakan proses paling cepat dimana simplisia yang sudah halus memungkinkan untuk di rendam dalam menstruum sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Simplisia yang akan diekstraksi biasanya ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut besar, bersama menstruum yang telah ditetapkan. Bejana di tutup rapat dan isinya di kocok berulang-ulang lamanya 2-14 hari. Pengocokan memungkinkan pelarut segera mengalir berulang-ulang masuk seluruh permukaan dari obat yang sudah halus (Ansel, 1989). Begitu zat-zat yang mudah larut dalam menstruum cenderung turun ke dasar bejana karena meningkatnya berat, kemudian menstrum segera naik ke permukaan dan proses ini berlanjut secara siklus. Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15-200C dalam waktu selama 3 hari sampai bahan–bahan yang larut akan melarut (Ansel, 1989).

Maserasi kecuali dinyatakan lain dilakukan sebagai berikut, yaitu dengan memasukkan 10 bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana, lalu dituangi dengan 75 bagian cairan penyari. Lalu di tutup dan dibiarkan selam 5 hari terlindung dari cahaya langsung sambil berulang-ulang dikocok-kocok, sari diserkai, ampas diperas kemudian ampas dicuci dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian (Anonim, 1979).

2.6.1 Prinsip Maserasi

Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama 3(tiga) hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Dinda, 2008).

2.6.2 Metode Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komonen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin. Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana. Sedang kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin. Metode maserasi dapat dilakukan dengan modifikasi maserasi melingkar, modifikasi maserasi digesti, modifikasi maserasi melingkar bertingkat, modifikasi remaserasi dan modifikasi dengan mesin pengaduk(Dinda, 2008).

2.7 Landasan Teori

Hasil penelitian Aguilar, dkk (2006) menunjukkan efek hipoglikemik dari biji daun sendok (Plantago mayor L.). Penelitian dilakukan dengan memberikan ekstrak air, ekstrak metanol, ekstrak heksana, dan ekstrak diklorometana dari biji kering Plantago mayor L. masing-masing 500 mg/kgBB pada mencit yang diinduksi aloksan. Semua perlakuan menunjukkan hasil yang signifikan menurunkan kadar glukosa darah pada hewan uji yang dipuasakan. Penurunan kadar glukosa darah yang paling tinggi ditunjukkan oleh ekstrak heksana dan ekstrak diklorometana. Selain itu juga dilakukan analisis fitokimia pendahuluan untuk mengetahui senyawa – senyawa yang terkandung dalam biji Plantago mayor L. Dalam ekstrak tersebut menunjukkan adanya senyawa saponin (ekstrak air), saponin, tanin, flavonoid (ekstrak metanol), flavonoid, sterol (ekstrak diklorometana), dan tannin dalam ekstrak heksana. Senyawa-senyawa tersebut diduga merupakan senyawa yang dapat menurunkan kadar glukosa darah (Aguilar dkk., 2006).

Herba daun sendok mengandung plantagin, aukubin, asam ursolik, beta sitosterol, n-hentriakuntan, dan plantaglusida yang terdiri dari methyl D-galakturonat, D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa. Juga mengandung tanin, kalium, dan vitamin (B1, C, A). (Dalimartha, 1999).

2.8 Kerangka Konseptual

Kelinci jantan sebanyak 20 ekor dibagi menjadi 5 kelompok, dipuasakan selama 20-24 jam, tetap diberi minum ad libitum.

Pengambilan cuplikan volume urin sebagai pengukuran awal (tanpa perlakuan)

Pemberian perlakuan

Pengambilan cuplikan volume urin setelah diberi pelakuan pada menit ke-

0,30,60,90,120,180 dan 240

Pengukuran volume urine dengan menggunakan gelas ukur

Pengumpulan data

Analisis hasil perolehan dan uji statistik


Gambar 2.1 Skema mekanisme percobaan

2.9 Hipotesis

H0 = Ekstrak air herba daun sendok (Plantago mayor L.) tidak mempunyai

efek diuretik pada kelinci jantan.

H1 = Ekstrak air daun sendok (Plantago mayor L.) mempunyai efek diuretic

pada kelinci jantan.


III. METODELOGI


3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang dipakai adalah penelitian eksperimental laboratorium dengan menggunakan rancangan percobaan Acak Lengkap (RAL) pola searah nonfaktorial dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. 3 kelompok untuk perlakuan ekstrak air daun sendok (P1 = dosis 0,25g/kg BB, P2 = dosis 0,49g/kg BB, P3 = dosis 0,98 g/kg BB), 1 kelompok untuk P4 (aquadest), dan 1 kelompok untuk P5 (furosemida/lasix dosis 1,4 mg/kg BB). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali. Sebagai hasil kali jumlah perlakuan (t) dengan jumlah ulangan (r), jadi n = t x r = 5 x 4 = 20 plot. Pengacakan dilakukan secara lottre kemudian tempatkan masing-masig perlakuan pada plot-plot percobaan hasil pengacakan sebagai berikut :

P1 P2 P3 P4 P5

(0,25 g/kg BB) (0,49 g/kg BB) (0,98 g/kg BB) ( 3 ml/kg BB ) (1,4 mg/kg BB)

r x t

Keterangan :

t = Perlakuan ekstrak air daun sendok (P1= dosis

0,25 g/kg BB, P2 = 0,49 g/kg BB, P3= 0,98

g/kg BB), P4 (aquadest 3 ml/kg bb) dan P5

(lasix 1,4 mg/kg bb).

r = Ulangan (A, B, C, D dan E.


Gambar 3.1 Mekanisme rancangan pengacakan sampel


Tabel 3.1 Rancangan pengamatan pengukuran volume urin kelinci

Perlakuan

Ulangan Total Rata-rata

Volume urin (ml)

1 2 3 4

P1 ( 0,25 g/kg bb 3 ml)

P2 (0,49 g/kg bb 3 ml)

P3 (0,98 g/kg bb 3 ml)

P4 (Aquadest 3 mg/kg bb)

P5 (Lasix 1,4 mg/kg bb 3 ml)


3.2 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel bebas, variable tergantung, dan variable kendali.

a. Variabel bebas yaitu variabel yang sengaja diubah atau dimanipulasi oleh peneliti dengan maksud untuk mengetahui pengaruhnya pada obyek yang diteliti. Termasuk dalam variabel bebas pada penelitian ini yaitu kelompok perlakuan (Kontrol negative dan kontrol positif dan variasi dosis ekstrak air herba daun sendok).

b. Variabel tergantung yaitu variabel yang memiliki nilai yang berubah-ubah sebagai akibat manipulasi dari variabel bebas. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah efek diuretik ekstrak air herba daun sendok.

c. Variabel kendali yaitu variabel data penelitian yang berpengaruh tetapi dapat dikendalikan, terdiri dari hewan uji dan tanaman daun sendok.

Hewan uji : jenis kelamin, galur, berat badan, kondisi.

Tanaman daun sendok : waktu pengumpulan, bagian tanaman, dan daerah pengambilan tanaman uji.


3.3 Populasi Besar dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi adalah kelinci jantan sehat, umur ± 4-6 bulan, berat 2 kg. Sampel adalah 20 ekor kelinci jantan yang diambil secara acak (simple random sampling) dan dibagi menjadi 5 kelompok seperti pada tabel dibawah ini :

P1 P2 P3 P4 P5

(0,25 g/kg BB) (0,49 g/kg BB) (0,98 g/kg BB) (3 ml/kg BB) (1,4 mg/kg BB)

r x t


Keterangan :

t = Perlakuan ekstrak air daun sendok (P1= dosis 0,25 g/kg BB,

P2 = 0,49 g/kgBB, P3= 0,98g/kg BB), P4 (aquades 3 ml/kg bb)

dan P5 (lasix1,4 mg/kg bb).

r = Ulangan (A, B, C, D dan E).


Gambar 3.2 Pengambilan sampel secara acak

Tabel 3.2 Pemberian perlakuan dan pengukuran cuplikan volume urin kelinci

Perlakuan

Ulangan Total Rata-rata

Volume urin (ml)

1 2 3 4

P1 ( 0,25 g/kg bb 3 ml)

P2 (0,49 g/kg bb 3 ml)

P3 (0,98 g/kg bb 3 ml)

P4 (Aquadest 3 mg/kg bb)

P5 (Lasix 1,4 mg/kg bb 3 ml)


3.4 Instrumen Penelitian

3.4.1 Alat dan Bahan

1. Bahan

a. Tanaman yang digunakan adalah herba daun sendok (Plantago mayor L.) kering yang diperoleh dari Cimanengah-Cipaku-Bogor pada bulan Desember 2009.

b. Reagensia yang digunakan adalah aquadest, yang didapat dari Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Politeknik Negeri Jember dan obat diuretik oral furosemid (Lasix).

c. Hewan uji yang digunakan adalah kelinci warna putih berjenis kelamin jantan, bermata merah, serta memiliki berat badan 1,5-2,0 kg.

2. Alat yang digunakan

a. Ekstraksi secara maserasi : toples, saringan, timbangan, blender, zentripuge, cawan petri, oven.

b. Uji farmakologi: kandang metabolik, timbangan hewan uji, sarung tangan, masker, sonde dan alat-alat gelas.

3.4.2 Prosedur Penelitian

1. Determinasi tanaman

Tujuan determinasi tanaman daun sendok adalah untuk memastikan dan meyakinkan bahwa tanaman yang digunakan benar-benar tanaman daun sendok. Determinasi terhadap tanaman daun sendok dilakukan di Dinas Perkebunan Purwodadi-Malang-Jawa Timur.

2. Pembuatan simplisia herba daun sendok

Tanaman diperoleh dari daerah Cimanengah – Cipaku-Bogor pada bulan Desember 2009. Bagian tanaman yang digunakan adalah herba, yaitu seluruh bagian tanaman (daun, biji, batang, bunga dan akar) . Pengambilan tanaman dilakukan di bawah sinar matahari (pukul 10.00 - 12.00 WIB), karena diperkirakan pada waktu tersebut fotosintesis tanaman berlangsung sempurna. Tanaman diambil, dicuci bersih, disortasi untuk memisahkan bagian tanaman yang rusak dan tumbuhan lain. Perajangan dilakukan untuk membantu mempercepat proses pengeringan. Rajangan dikeringkan di bawah sinar matahari dan ditutup dengan kain hitam untuk mencegah kerusakan kandungan kimia tanaman yang disebabkan sinar UV dari matahari. Setelah itu simplisia diserbuk dengan blender untuk memperbesar luas permukaan partikel agar kontak antara bahan dan larutan penyari lebih besar.

3. Pembuatan ekstrak herba daun sendok

Pembuatan ekstrak air herba daun sendok dilakukan dengan metode maserasi. Serbuk daun sendok yang telah ditimbang dengan berat tertentu dicampur air dalam toples sesuai konsentrasi yang diinginkan. Kemudian diamkan/maserasi selama 24 jam/satu hari dan sekali-kali diaduk, keesokan harinya peras dengan menggunakan saringan sampai kering hingga keluar ekstraknya. Kemudian ekstrak dikentalkan dengan cara di zentripuge dengan kecepatan 3900 rpm selama 10 menit dengan suhu 29-30 oC, hingga terpisah antara larutan dengan pellet (endapannya) lalu dituangkan pada wadah yang mempunyai permukaan lebar/pada cawan petri lalu oven dengan suhu 50-60 oC selama 1-2 hari atau sampai kering. Kemudian kerik dengan pisau hingga terkumpul menjadi ekstrak serbuk lalu haluskan dengan cara di blender. Kemudian timbang dan larutkan dalam aquades sesuai dengan dosis masing-masing perlakuan terhadap kelinci.

4. Penentuan Dosis

a. Perhitungan dosis furosemida (Lasix)

Perhitungan dosis furosemida (Lasix) untuk kelinci didasarkan pada dosis terapi peroral untuk manusia.furosemida yang digunakan ialah Lasix. Dosis sekali minum untuk manusia berat badan 70 kg adalah 40 mg. Dosis tersebut dikonversikan ke kelinci dengan berat 2 kg (faktor konversi 0,07).

Kemudian nilai konversi tersebut dikalikan dengan dosis terapi untuk manusia, yaitu 0,07 x 40 mg = 2,8 mg/2 kg BB atau 1,4 mg/kgBB untuk diberikan sekali minum.

Dosis furosemida (Lasix) = 2,8 mg/2 kg BB = 2,8 mg/ 3 mL = 0,933 mg/ mL.

Jika dibuat stok 100 mL = 93,3 mg/ 100 mL

Ditimbang 20 tablet furosemid (Lasix) didapatkan berat 3263,5 mg, maka berat rata-rata 1 tablet furosemid (Lasix) adalah = 3263,5 mg/20 tablet = 163,175 mg. furosemid (Lasix) untuk volume 100 ml mg = 93,3 mg/40mg x 163,175 mg = 380,61 mg/100 ml sehinga untuk membuat stok furosemida dengan menimbang sebanyak 380,61 mg tablet furosemid (Lasix) kemudian disuspensi dengan aquadest hangat hingga 100 ml.

b. Penghitungan peringkat dosis ekstrak air herba daun sendok

Menurut Ariztya Rizki Nugrahani (2008) menyatakan bahwa pemakaian di masyarakat Indonesia (BB 50 kg) ialah 10 gram herba kering daun sendok untuk sekali minum. Maka untuk manusia 70 kg (70/50 kg x 10 g herba daun sendok = 14 g). Pemakaian untuk manusia kemudian dikoversikan pada kelinci 2 kg (faktor konversi 0,07). 14 g x 0,07 = 0.98 g/2 kg BB = 0,49/kgBB. Selanjutnya dibuat orientasi dosis dengan faktor pengali dan pembagi menggunakan bilangan 2.

0,49 g/kgBB x 2 = 0,98 g/kgBB

0,49 g/kgBB : 2 = 0,25 g/kgBB.

Sehingga, dosis untuk per oral herba daun sendok adalah 0,25 g/kgBB; 0,49 g/kgBB; 0,98 g/kgBB. Stok sediaan dibuat dalam 100 mL, tiap pemberian sebanyak 3 mL, sehingga untuk dosis:

a. 0,25 g/ kgBB = 0,5 g/2 kgBB

Konsentrasi = 0,5 g/3 mL = 0,167g/mL  = 16,7 g/100 mL = 16,7%

b. 0,49 g/kgBB = 0,98 g/2 kgBB

Konsentrasi = 0,98 g/3 mL = 0,326 g/mL = 32,6 g/100 mL = 32,6 %

c. 0,98 g/ kgBB = 1,96 g/2 kg BB

Konsentrasi = 1,96 g/3 mL = 0,653 g/mL = 65,3 g/100 mL = 65,3 %

5. Pelaksanaan Penelitian

a. Membagi secara acak 20 ekor kelinci menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor kelinci.

b. Menimbang bobot kelinci

c. Mengadaptasikan kelinci selama satu minggu

d. Membuat persediaan ekstrak air daun sendok (Plantago mayor L).

e. Menempatkan kelinci pada kandang metabolik, tiap kandang berisi 1 ekor kelinci, tiap kelinci tersebut akan diberi perlakuan sebagai berikut:

Table 3.3 Mekanisme pemberian perlakuan pada kelinci

Perlakuan Ulangan Total Rata-rata

Volume urin (ml)

1 2 3 4

P1 ( 0,25 g/ kg bb 3 ml)

P2 ( 0,49 g/ kg bb 3 ml)

P3 (0,98 g/ kg bb 3 ml)

P4 (Aquadest 3 ml/kg bb)

P5 (Lasix 1,4 mg/kg bb 3 ml)

f. Pemberian perlakuan dilakukan dengan menggunakan sonde 3 ml setiap hari.

g. Selama perlakuan kelinci diberi makan dan minum secara ad libitum.

6. Pengujian efek diuretika pada hewan coba

Kelinci dikelompokkan menjadi 5 kelompok perlakuan. Setiap kelompok terdiri dari 4 ekor. Kemudian kelinci dipuasakan selama 20-24 jam, tetap diberi minum secara ad libitum. Kemudian kelinci ditempatkan dalam kandang metabolik, urinnya ditampung dengan wadah yang mempunyai skala pengukuran sebagai pengukuran awal, setelah itu masing-masing kelinci dibagi 5 kelompok dan diberi perlakuan yaitu:

Tabel 3.4 Pemberian dosis perlakuan pada tiap kelompok kelinci

Perlakuan Ulangan Total Rata-rata

Volume urin (ml)

1 2 3 4

P1 ( 0,25 g/ kg bb 3 ml)

P2 ( 0,49 g/ kg bb 3 ml)

P3 (0,98 g/ kg bb 3 ml)

P4 (Aquadest 3 ml/kg bb)

P5 (Lasix 1,4 mg/kg bb 3 ml)

Kemudian ambil cuplikan volume urin tiap kelinci dari menit ke-0, 30, 60, 90, 120, 180 dan 240, setelah itu lakukan pengukuran volume urin pada gelas ukur.

3.3.4 Parameter Pengamatan

Parameter pengamatan yang akan dilakukan yaitu:

a. Pengukuran cuplikan volume urin sebelum diberi perlakuan.

b. Aktivitas setelah diberi perlakuan ekstrak daun sendok, aquadest dan furosemida (lasix).

c. Lama efek yang ditimbulkan setelah diberi perlakuan (efek perlakuan).


Tabel 3. 5 Pengamatan setelah diberi perlakuan

Kelompok Dosis Perlakuan Waktu (menit) Total Volume urin (ml)

0 30 60 90 120 180 240

1 P1 ( 0,25 g/ kg bb 3 ml)

2 P2 ( 0,49 g/ kg bb 3 ml)

3 P3 (0,98 g/ kg bb 3 ml)

4 P4 (Aquadest 3 ml/kg bb)

5 P5 (Lasix 1,4 mg/kg bb 3 ml)


3.5 Lokasi Penelitian

Pelaksanaan kegiatan penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Peternakan Politeknik Negeri Jember. Selama dua (4) bulan yang dimulai pada tanggal 01 Februari 2010 s/d 31 Mei 2010.

3.6 Prosedur Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data dilakukan sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi perlakuan kepada kelinci. Pengambilan data dilakukan dalam periode 1,2,3, dan 4 jam per 30 menit setiap hari dan dilakukan selama 5 hari dari hari pertama hingga hari ke lima untuk mengetahui efek dari perlakuan terhadap diuretik.

3.7 Teknik Analisis

Data yang sudah terkumpul dari hasil pengamatan dengan pengukuran volume urin kelinci kemudian di analisis keseragamannya dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) uji keragaman (ANOVA) pola searah. Untuk mengetahui perbedaan yang signifikan antara perlakuan digunakan uji BNT pada taraf 5%.

Model matematis rancangan acak lengkap adalah sebagai berikut:

Yij = µ + Ti + €ij i = 1,2......t

j = 1,2......r

Yij = respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

µ = nilai tengan umu

Ti = pengaruh perlakuan ke-i

€ij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j (Adji Sastrosupadi, 1995).

Tabel 3.5 Ringkasan Analisis Varians Untuk Data Rancangan Acak Lengkap.

SK DB JK KT F hit F 5% F 1%

Perlakuan (t-1) JKP JKP/(t-1) = KTP KTP/ KTG

Galat t(r-1) JKG JKG/ t(r-1)= KTG

Total (tr-1) JKT

Keterangan :

SK : Sumber keragaman (sumber varian)

Db : Derajat kebebasan

JK : Jumlah kuadrat

KT : Kuadrat tengah

Fhit : Fhitung

Ftab : Ftabel

Galat (dalam sub kelompok) adalah faktor kesalahan dalam percobaan

Berdasarkan tabel rancangan penelitian, maka rumus perhitungan yang digunakan adalah :

Fk : faktor korelasi

FK = (y..)2 / (p x u) (note : pu = tr)

JK Galat = JK Total – JK Perlakuan

Untuk mengetahui apakah hasil penelitian signifikan atau tidak, dapat dilakukan dengan membandingkan nilai F-tabel dengan F-hit. Jika diperoleh hasil bahwa F-hit lebih besar dari pada F-tabel, pada taraf kepercayaan 99% maka hasil ujinya dinyatakan berbeda nyata. Apabila perhitungan dengan analisis varian menunjukkan perbedaan yang signifikan, maka untuk menentukan perlakuan yang berbeda dengan perlakuan kontrol digunakan uji BNT (Sutjihno, 1986). Model matematik dari BNT dengan rumus sebagai berikut:

BNTα = t α (db galat) x √ 2s2

ulangan

S2 = ragam = kuadrat tengah (KT) (Adji Sastrosupadi, 1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar